IFWADI, S.Pd

Foto saya
Bireuen, Aceh, Indonesia
KETUA MGMP IPS SMP BIREUEN

Jumat, 13 November 2020

Memburu Naskah Perjanjian Antara Kerajaan Aceh Dengan Amerika Serikat

MEMBURU  NASKAH PERJANJIAN  ANTARA  KERAJAAN  ACEH  DENGAN  AMERIKA  SERIKAT 
Suatu tulisan yang   dituangkan     dalam     bentuk perjanjian jelas akan mengandung makna bagi sekelompok   masyarakat,   apalagi   kalau dalam tulisan itu secara jelas tertera suatu masalah penting seperti huhungan diplomalik antar negara.

Perjanjian yang berisikan hubungan diplomatik itu merupakan benda berharga dan pasti akan “diburu” untuk mendapatkannya  seperti yang dilakukan H. M.Nur El Ibrahimy terhadap naskah berusia sekitar 120 tahun yang merupakan tulisan Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali Pidie. Untuk memperoleh naskah tersebut, El  Ibrahimy berburu hingga ke Amerika Serikat.

Boleh jadi tulisan tuanku Ibra¬him Raja Fakih Ali Pidie belum bermakna   pada   saat  hubungan diplomatik   Aceh   dan   Amerika Serikat mulai dijalin, namun pada tahun 1990-an buah karya putra Aceh tersebut mulai dicari orang. M.Nur El  Ibrahimy  (83) yang mengaku  sudah  30 tahun, tidak pulang ke Aceh untuk memburu naskah berusia 120 tahun di Amerika Serikat.

 Dan keinginannya itu akhirnya terwujud pada tahun  1994. “Hari ini bagi saya merupakan hari yang indah, hari gembira dan bahagia dalam hidup saya. Gembira, karena janji yang saya   berikan   kepada   Gubernur Aceh    bahwa   semua   dokumen sejarah Aceh yang saya peroleh dari U.S. National Archives, Washington, akan   saya   serahkan kepada rakyat Aceh, dapat saya tepati, katanya.

Dalam sambutannya yang dibacakan putri tertuanya, Susan¬na, M.Nur El Ibrahimy mengatakan, “Bahagia, karena dokumen sejarah Aceh yang raib dari tanah Areh selama hampir 1 1/4 abad tidak ketahuan rimbanya, sempat saya antarkan kembali ke persada tanah leluhur, sebelum saya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa ke Hadhiratnya,”

la mengatakan, dari sejarah kita belajar mencintai tanah air, dengan sejarah memupuk semangat dan tanpa pamrih mengabdi kepa¬da tanah air, dan akhirnya kepada sejarah pula berpedoman dalam berpacu mengejar masa depan vang lebih baik dan lebih cerah. Seratus tahun lalu sekitar akhir Agustus atau September 1873, di gedung konsulat di Singapura telah berlangsung suatu pertemuan bersejarah antara konsul  Amerika, Mayor Studer dan Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali Pidie.

Ibrahim yang merupakan wakil mutlak sultan Alaidin Mahmud Syah, dapat dikatakan seorang pejabat tinggi sultan yang bertindak sebagai menteri luar negeri Kerajaan Aceh waktu itu dan merupakan arsitek dari draf  perjanjian Aceh Amerika. Pertemuan tersebut disaksikan seorang peja¬bat bawahan Tuanku Ibrahim, dan dari pihak Studer disaksikan oleh Cyrus Wakefield dari Boston Firm of Cyrus Wakefield, jelas tokoh masyarakal Aceh tersebut.

Dalam pertemuan itu, tuanku Ibrahim menyerahkan seberkas dokumen kepada Studer. Doku¬men tersebut terdiri dari lima buah,  yakni dokumen induk yang berisikan perjanjian Aceh-Amerika yang dibuat sendiri oleh Tuanku Ibrahim. Dokumen ini terdiri dari dua lembar, ditulis dengan bahasa Melayu-Aceh lama dengan memakai huruf Arab yang sukar dimengerti oleh generasi muda sekarang. Dokumen ini disertai terjemahannya dalam bahasa Inggris yang terdiri dari tiga lembar.

Dokumen kedua adalah sepucuk surat dari Tuanku Ibrahim se¬bagai wakil mutlak Sultan Aceh kepada Jenderal Grant, Presiden Amerika Serikat. Surat ini ditulis dalam bahasa lnggris, jelas M.Nur el Ibrahimy.

Sedangkan dokumen ketiga adalah dekrit Sultan Aceh membentuk Dewan Tiga yang terdiri dari Teuku Muda Nyak Malim, Teuku Maharaja Mangkubumi dan Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali pidie, untuk mengelola segala urusan pemerintah, guna menjamin keselamatan bangsa dan negara dalam menghadapi ancaman Belanda.

Dua dokumen lainnya adalah keputusan Dewan Tujuh di Pulo Penang dan surat pribadi kakak tuanku Ibrahim kepada Ibrahim. Surat-surat ini merupakan “cre¬dentials” dan mengandung data sejarah yang tidak diketahui oleh ahli-ahli sejarah, katanya.

Penyerahan dokumen kepada konsul Amerika dalam rangka usaha Sultan Alaidin Mahmud-Syah untuk mengikat suatu perjanjian persahabatan dan aliansi dengan Amerika Serikat, sebagai suatu upaya untuk menghindari atau menghadapi perang yang tidak adil yang dikobarkan oleh Belanda terhadap Aceh.

Sebulan kemudian, kata tokoh Aceh itu, tepatnya pada 4 Oktober 1873, draft perjanjian Aceh-Ame¬rika dengan dokumen dokumen lain yang terkait ditransfer oleh konsul Amerika, Studer ke Deplu AS di Washington DC.

Hasrat memiliki
Peristiwa pertemuan antara tuanku Ibrahim dan Studer di Singapura pada akhir tahun 1873 itu pantas dicatat dalam sejarah sebagai suatu peristiwa besar, sebab hal itu terjadi jauh sebelum fajar kebangkitan Asia menyingsing pada tahun 1905, katanya. “Saya mengetahui draft itu berada di Amerika Serikat dari Dr. James Werren Gould. la adalah profesor dari Clearmount College di Cali¬fornia,” jelasnya.

Pada tahun 1960, ia bertemu dengan James di Hollywood Inn. Doktor James adalah orang pertama yang menemukan draft perjanjian tersebut di State Departement’s Archives, ketika ia mengadakan penelitian untuk menulis sebuah artikel, yang kemudian dimuat dalam majalah “The An¬nals of Iowa” tahun 1957. “Saya ingin sekali melihat draft perjanji¬an Aceh-Amerika itu, sekurang-kurangnya kalau dapat ingin memiliki fotocopy. Tetapi bagaimana, saya pada waktu itu sedang dalam perjalanan pulang ke tanah air,” kata M.Nur el Ibrahimy.

Pada awal tahun 1992, tatkala ingin merampungkan penulisan naskah “Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh” yang terbengkalai, timbul gairah kembali untuk memburu doku¬men draft perjanjian Aceh-Ame¬rika itu. “Perburuan saya lakukan dua jurusan. Dari satu jurusan saya suruh anak saya Susanna dan Nisrina menghubungi USIS (Pusat Pelayanan Informasi AS) di Jakarta, sedangkan jurusan kedua, saya sendiri menulis surat kepada Departemen Luar Negeri Amerika Serikat di Washington melalui American Embassy di Jakarta,’ katanya.

November 1992, Mr Stewart dari Kedubes AS mengirim kawat ke USIS di Washington, dan meminta tolong dicarikan di Deplu AS naskah mengenai ‘The Achehnese – American Treaty Proposal”, dan minta dikirimkan ke Perwakilan Kearsipan AS di Jakarta.

Bulan Desember 1992, Miss Betsy Franks dari USIS Washing¬ton mengirim pesan kepada perwakilan mereka di Jakarta yang isinya meminta penjelasan lebih lanjut karena “The Achehnese -American Treaty Proposal” tidak dikenal di kalangan Deplu AS.

Berhasil ditemukan
Setelah “dicari beberapa bulan, akhirnya draft itu ditemukan pada 30 Juli 1993. Tokoh masyarakat Aceh tersebut berhasil memburu naskah tua yang merupakan Draft Perjanjian Aceh-Amerika melalui Pusat Kebudayaan AS di Jakarta.

Dokumen itu merupakan sejumlah fotocopy  yang mengan¬dung peristiwa peristiwa penting berkaitan dengan sejarah Aceh yang hampir satu seperempat abad boleh dikatakan tidak diketahui masyarakat dunia, bahkan oleh ahli sejarah Aceh sendiri, kata M.Nur El Ibrahimy. “Sejak berada di tangan, saya sudah berniat menyerahkan pusaka nenek moyang (Achehnese Heritage) yang tidak ternilai itu kepada rakyat Aceh, tegasnya.

Dengan rujuknya warisan terse¬but ke pangkuan persada tanah air, sejarah Aceh perlu disempurnakan, dengan menempatkan peristiwa pada proporsi yang sebenarnya. Semua draft perjanji¬an Aceh – Amerika yang ditanda-tangani tahun 1873 di Singapura antara utusan kerajaan Aceh dan konsulat Amerika, diserahkan kepada Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud dalam suatu acara sederhana yang berlangsung be¬lum lama ini.

Gubernur mengharapkan agar dokumen itu dijaga karena meru¬pakan warisan yang tak ternilai harganya. “Apalagi mendengar kisah memburunya terasa sulit, sehingga pusaka nenek moyang tersebut benar-benar bisa menjadi bahan rujukan generasi muda mendatang”, kata Gubernur.
Saidulkarnain Ishak/ans
 
( Sumber: Harian SERAMBI INDONESIA, Minggu, 20 November 1994 halaman 7. Disalin kembali oleh: T.A. Sakti )

Paya Kareueng, Bireuen, 13 November 2020 (Ifwadi Taib) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendidikan

Pengertian Sejarah Sebagai Ilmu, Sebagai Kisah, Sebagai Peristiwa dan sebagai Seni

Pengertian Sejarah Sebagai Ilmu, Sebagai Kisah, Sebagai Peristiwa dan sebagai Seni 1. Sejarah Sebagai Ilmu Sejarah sebagai ilmu merupakan ...

Tampilkan