IFWADI, S.Pd

Foto saya
Bireuen, Aceh, Indonesia
KETUA MGMP IPS SMP BIREUEN

Rabu, 27 Mei 2020

Bale Tambeh, Kompor Untuk Mengangkat Sastra dan Budaya Aceh se-Tinggi Langit!

Oleh: T.A. Sakti

Berikut sekelumit kisah "Bale Tambeh", seunit bangunan tua yang amat kecil, tempat saya dan teman-teman memperdalam ilmu dunia dan akhirat. Dua hari lalu bangunan yang sudah keropos itu hancur-lebur, hilang melesap tak berbekas!. Kisahnya sebagai berikut:

Balai Pengajian Fajrul Islam-3 – DINAS PENDIDIKAN DAYAH KABUPATEN ...

BALE TAMBEH, sebuah balai kecil berukuran 2,5  meter x 1,5 meter. Meski kecil, di balai ini telah berlangsung sejumlah  kegiatan yang ikut memupuk semangat sastra dan budaya Aceh.

Bahan pembuatan balai merupakan “sedekah” para arwah korban Tsunami Aceh, 26 Desember 2004  yang diwakili Cut Baka yang memberikan kepada saya.

Cut Baka (Abubakar Ibrahim) adalah teman akrab saya yang telah menjual sebidang tanah kebun kelapa beliau kepada saya untuk membangun rumah.

Setelah mudik  ke kampung selama dua bulan akibat tsunami, kami sekeluarga balik lagi ke perantauan. Itu berarti pertengahan Maret 2005. 

Setiap hari kami kerja membersihkan halaman dari sisa-sisa bekas tsunami yang dilakukan sedikit demi sedikit. Tanah di seputaran rumah hitam berminyak.

Teman ngobrol di hari-hari “meuseuraya” (gotong-royong)  itu adalah Cut Baka. Beliau penduduk asli Gampong Tanjong Seulamat. Walau ikut menjadi korban tsunami dan mengungsi beberapa hari, tapi tidak kemana-mana setelah itu!.

Ketika saya  menyatakan maksud mendirikan sebuah balai di halaman rumah, Cut Baka langsung bilang:”neucok laju kayee lon peusapat ube sep”(ambil saja kayu yang telah saya kumpulkan secukupnya!).

Memang sudah satu tumpukan besar jumlah kayu yang dikumpulkan. Semua itu berasal dari kayu yang dihayutkan air/lumpur tsunami. 

Kayu itu adalah puing-puing rumah dan gedung yang dihempas tsunami milik orang-orang dari beberapa kampung pinggir laut Aceh (Lautan Hindia). Sang pemilik rumah dan gedung mayoritas jadi korban tsunami. Semoga Allah Swt memberi pahala syahid kepada mereka, Aamiin!!!.

Setelah bahan bangunan balai terasa cukup, saya minta tolong seorang tetangga untuk membangunnya. Beliau adalah keponakan Cut Baka yang sering saya panggil Cut Nan. 

Bahan utama berupa kayu sudah lengkap, hanya paku, tali nilon dan bahan atap daun rumbia yang dibeli Cut Nan di Keude Lamnyong. 

Balai mungil itu menghadap ke jalan kampung agar  saya lebih banyak  dapat ‘bersilaturrahmi’ dengan orang-orang yang lalu-lalang  di jalan depan balai.

Beberapa tahun berselang, Bale Tambeh direhap ulang. Arah depan balai  dialihkan ke halaman rumah, hingga nampak cemerlang, anggun menantang. Dinding balai diganti yang baru, kindang seputar dinding dicat coklat dan landasan tanah disemenkan. Kesemua ini dikerjakan Bang Wan (Ridwan Yusuf).

Semula balai kami tak memiliki papan tulis. Tapi Alhamdulillah, berkat sumbangan Bapak Aidi Kamal papan tulis putih bersih terpasang indah di para balai. 

Begitu pula, balai tempat kami belajar tak mempunyai papan nama. Alhamdulillah, atas sumbangan  Keuchik Gampong Tanjung Selamat, Bapak Husaini Abdullah  papan nama “Bale Tambeh” sudah terpampang adanya.

Selanjutnya, di ujung tahun 2019 Bale Tambeh diperbaiki lagi. Kali ini hanya rehap kecil, berupa soi bubong yang mulai bocor serta membungkusnya  dengan jaring hitam dan menambal triplek di semua tiang. 

Selama ini, setiap tiang balai sudah keropos dan terlihat bopeng-bopeng  sobekan yang memalukan. Tapi, Alhamdulillah, para peserta pengajian Drah Aceh di Bale Tambeh tidak pernah malu (nampaknya!), padahal kegiatan mengaji  huruf Arab Jawoe bahasa Aceh itu disiarkan langsung ke seluruh dunia lewat media youtube. Triplek penutup luka-luki ditiang balai  dicat warna orent oleh Bang Is (Ismail) yang mengerjakannya.

Pondok kecil itu saya beri nama Bale Tambeh. Tambeh, yakni tanbihun dari bahasa Arab bisa bermakna: peringatan, tuntunan atau catatan. Sementara dalam belantara sastra Aceh, kata “tambeh” sudah menjadi nama dari sejenis sastra Aceh yang bermuatan mengenai agama Islam.

Hingga hari ini masih dikenal beberapa kitab agama yang berlabel tambeh. Diantara yang saya ketahui adalah Tambeh Tujoh Blah, Tambeh Tujoh dan Tambeh Limong Kureueng Sireutoh. Angka yang ada merupakan jumlah bab atau masalah dalam kitab tersebut.

Walaupun masih ada, tapi sudah langka dan amat sedikit orang Aceh yang mempelajarinya. Akibat sudah langka itulah yang mendorong saya ingin menyelamatkannya. Usaha ke arah itu antara lain saya lakukan menyalin ulang dalam huruf Latin serta menggelar nama Bale Tambeh bagi rangkang ( dangau di sawah)  saya yang kecil itu.

Blog internet yang saya kelola juga bergelar tambeh, yaitu www.tambeh.wordpress.com. Lalu gambar latar Blog adalah  foto Bale Tambeh yang  di dalamnya  kami  sedang teribat diskusi sastra Aceh, yaitu saya sendiri (T.A. Sakti), Medya Hus, Cek Man, Abrar, dan seorang staf lamuri.online.

Tempo hari, saya pernah mengasuh selama 6 tahun  rubrik sastra Aceh dalam tabloid Warta Unsyiah terbitan seksi Humas Universitas Syiah Kuala. Rubrik itu  saya beri nama tambeh pula. Memang, saya sudah begitu terpaut dengan tambeh, sampai-sampai dengan jambo di depan rumah pun berlakap Bale Tambeh.

Beberapa  kegiatan  yang pernah berlangsung di Bale Tambeh dan sekitarnya:

1) Sejak keberadaannya, setiap kegiatan tulis-menulis yang saya lakukan selalu disertai sebutan Bale Tambeh, baik di awal atau pun di akhirnya. Lalu diikuti dengan tanggal Aceh, Hijrah dan Masehi dan pukul - menit saat hal itu dilaksanakan.

2) Bale Tambeh digunakan sebagai tempat duduk bagi tamu saya atau Ummi (istri saya).  Tamu saya mayoritas mahasiswa saya sendiri, mahasiswa dari kampus lain yang sedang menyusun tugas akhir, skripsi, tesis dan disertasi yang terkait sastra dan budaya Aceh.

3) Tamu Ummi lebih sering merupakan kaum Ibu dari tetangga sekitar rumah kami yang datang pada jam rehat, posnya tentu Bale Tambeh. Kadang-kadang ada pula tamu Ummi yang sengaja datang untuk meminta benih (bijeh) bunga karena Ummi senang menanam dan merawat bunga. Di halaman rumah kami penuh dengan ‘bunga’  warna-warni dan tanaman obat, tanaman sayur dan buah-buahan  dengan kondisi halaman yang bersih dan asri.

4) Ada pula tamu saya kalangan wartawan media cetak dan sekali media elektronik. Mereka meliput kegiatan sehari-hari saya terkait manuskrip dan sastra Aceh. Wartawan media cetak mayoritas asal Banda Aceh yang sehabis tsunami Aceh ( 2004) tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Sekarang, semua media cetak itu; baik suratkabar, majalah dan tabloid sudah almarhum. Pihak media Jakarta, hanya Majalah Tempo (sekali)  dan Harian Kompas yang pernah mewawancarai saya sebanyak  6 (enam) kali. Dua kali diantara liputan Harian Kompas itu sekaligus juga merekam video dengan judul: T.A.Sakti ahli hikayat dan hikayat membakar semangat juang rakyat Aceh. Sampai kini masih dapat dilacak di youtube.

5) Di Bale Tambeh, seniman besar Aceh Medya Hus pernah membuat Video dengan judul dalam youtube: hikayat T.A. Sakti oke mpg  Saat itu saya didampingi penyair Abrar sedang membaca Tambeh Tujoh Blah tentang hidup berjiran atau bertetangga.

6) Suatu kali saya membaca sutu manuskrip yang baru dibawa pulang oleh dr. Nabil Berry dari Pustaka Nasional, Jakarta. Tanpa saya sadari, rupanya pembacaan kitab karya Syekh Muhammad Said bin Abbas Kruengkale itu direkamnya. Rekaman itu sampai kini masih eksis di dunia maya.

7) Sekitar tahun 2011, Bale Tambeh pernah disemarakkan dengan pembacaan nazam dan cae oleh Teungku Ismail alias Cut ‘E dan Medya Hus. Sayangnya, di malam itu turun hujan lebat, hingga acara kurang lancar, tapi tetap bersemangat sukses.

8) Awal tahun 2013, Bale Tambeh pernah saya fungsikan sebagai tempat diskusi dan kajian sastra Aceh. Banyak tokoh sastra dan akademisi telah saya hubungi untuk narasumber dan peserta. Diantara yang saya ingat pernah hadir adalah Ahmad Fauzan, Mr.King  asal Amerika Serikat dan Buk Eli asal Betawi. Tak lama kemudian, saya disibukkan dengan tugas memberi kuliah dan berkuliah karena saya menjadi mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry. Otomatis, berhentilah kegiatan itu.

9) Selama menyusun tesis pascasarjana, Bale Tambeh menjadi oase sejuk yang menginspirasi. Saya mengkaji Hikayat Malem Dagang, Siti Hajar: Hikayat Teungku di Meukek, Irma Susanti: Hikayat Ranto, sedangkan Khaira: Hikayat Pocut Muhammad. Jadi, walaupun tidak pernah serentak berkumpul kami berempat; tetapi Bale Tambeh menjadi solusi pembebas dari kepenatan menulis tesis.

10) Tahun 1439 H menguat  gagasan untuk mengadakan pengajian kitab huruf Jawi-Jawoe bahasa Aceh. Sebenarnya, ini ide lama yang terus terpendam. Akan tetapi akibat seringnya dapat dorongan dari teman-teman, maka betul-betul muncul ke permukaan. Dalam pembicaraan bersama teman, kami memilih kitab Akhbarul Karim karya Teungku Seumatang sebagai kitab Jawoe rujukan pertama.

Hari Pertama “Meurunoe Jawoe Bahasa Aceh” (belajar huruf Jawi-Arab Melayu bahasa Aceh) di Bale Tambeh  berlangsung pada hari Ahad, 23 Beurapet  1439 atau 23 Zulkaidah 1439 H bersamaan 5 Agustus 2018, pukul 17.00 sore. Pada hari yang sama di Banda Aceh dibuka Pekan Kebudayaan Aceh ke 7 (PKA VII).

Para peserta pengajian yang hadir pada hari pertama sebagai berikut:
1. Saya sendiri ( T.A. Sakti )
2. Muhammad Nur H
3. M. Iqbal
4. T. Jauhari
5. Buchari
6. Salmawati A W
7. Irma Susanti
8. Abdullah Suhemat (suami Irma asal Yordania, sedang kuliah S3 bidang kesehatan di Canada)
9. Tgk Ismail (Cut ‘E), sengaja diundang untuk membaca Nazam Teungku Di Cucum, demi keberkatan; sebagai pembukaan.
10. Siti Hajar

Setelah sukses pembukaan hari pertama, kami pun  ingin memiliki nama grup whatsApp (Wa) yang serasi. Karena itu, saya bersama Siti Hajar dan Bang Buchari alias Bg Bus, mengadakan diskusi kecil pada hari Selasa, 7 Agustus 2018 Pukul 10.11 wib bertempat di Kantin  AAC  Dayan Dawood di Kampus Darussalam.

Sebagai hasil coret-moret kami ditemukan sejumlah  calon nama grup, yaitu 
1) Meurunoe  Arab Jawoe Bahsa Aceh ( Mahajasa Aceh)
2) Belajar Arab Jawi Bahasa Aceh ( Bajaba)
3) Belajar Arab Melayu Bahasa Aceh ( Belamba atau Bamba ) dan
4) Meureunoe Arab Melayu Bahasa Aceh ( Meulasah ).

Hasil rumusan itu  kami bahas kembali pada pertemuan pengajian kedua, hari Sabtu, 11 Agustus 2018. Akhirnya,  usul M. Iqbal Hafidh yang mengusulkan “drahaceh” bagi nama grup, kami terima secara kompak. Drah Aceh, berarti belajar mengenai Aceh yang sering diulang-ulang demi kelancarannya. Sejak pertemuan kedua, jadwal tetap pengajian terus berlangsung pada hari Sabtu.

Pengajian ‘Meurunoe harah Jawoe bahsa Aceh’ berlangsung selama delapan bulan seluruhnya. Dalam sigo Jumeu’at ( dalam seminggu) hanya belajar pada hari Sabtu, mulai  jam 5 sore sampai pukul 18. 30 wib. Selama itu, kami telah membaca serta mengkaji kitab Akhbarul Karim sebanyak tiga kali tamat. Sesuai nama ‘drahaceh’ membaca berulang-ulang itu memang suatu keharusan.

Para peserta yang hadir di setiap pertemuan boleh dikatakan memadainya untuk ukuran balai  yang kecil itu. Di atas balai hanya muat lima orang. Selebihnya duduk dikursi plastik di sekeliling balai. Pengajian di Bale Tambeh juga diikuti mahasiswa senior prodi Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah yang mengambil mata kuliah ‘Studi Lapangan’ yang saya asuh. Mereka saya bagi dua kelompok, karena mengingat kekurangan tempat duduk. Biar pun yang hadir satu kelompok, bangku panjang milik saya dan tetangga perlu dipakai. Media online portalsatu pernah menayangkan kondisi Bale Tambeh saat dihadiri mahasiswa.

Suatu kekaguman saya yang awam mengenai dunia maya adalah upaya Tgk. Iqbal Hafidh dan dr. Nabil Berry yang menjadikan pembelajaran Arab Jawoe di Bale Tambeh tersiar ke mancanegara.

Setiap kali belajar, disiar langsung lewat situs youtube drahaceh. Sorotan gambar dan rekaman suara dilakukan rekan Iqbal Hafidh. Rekaman itu berjumlah sepuluh seri.

Sementara itu dr. Nabil Berry melakukan lobi online dengan “Lembaga bahasa-bahasa di dunia” yang berpusat di Amerika Serikat. Usulan itu diterima lembaga ‘wikitongoues’,yang menjadikan dialog bahasa Aceh di Bale Tambeh sebagai contoh percakapan dalam bahasa Aceh. Alamatnya: wikitongoues.org mengenai bahasa Aceh; klik: T.A.Sakti+IqbalHafidh+M.KalamDaud_20190122_aceh: Wikitongoues.org

Demikianlah, pengajian di Bale Tambeh berjalan lancar dan aman sampai ditutup buat ‘sementara’ sepuluh hari menjelang bulan Ramadhan 1440.

Waktu terus berjalan, melintasi dari bulan ke bulan, namun pengajian di Bale Tambeh tak jelas kapan dibuka kembali. Keadaan ini terjadi karena berbagai faktor, terutama sebagian teman-teman penggagas, penyokong dan pendorong sudah tidak dapat hadir secara rutin. Apalagi, saya sendiri sudah pensiun, sehingga tak ada lagi mahasiswa yang dapat saya ajak meramaikannya.  Akibatnya, saya sebagai pengasas Bale Tambeh menjadi risau hati melanjutkan pengajian.

Akan tetapi beberapa bulan sebelum bulan Ramadhan 1441 H, semangat saya berkobar kembali nyaris tak dapat dibendung. Niat melanjutkan pengajian harah Jawoe bahasa Aceh bergema kembali.

Menyambut semangat yang semakin kuat itu, maka lewat Wa saya umumkan perihal pembukaan kembali pengajian di Bale Tambeh. Pemberitahuan itu saya umumkan setiap hari sampai enam kali. 
Akibat pengumuman itu,  sebanyak 20 orang peserta telah mendaftarkan diri secara online.

Isi pengumuman hari ke tujuh amat bertolak-belakang, berupa penundaan pembukaan pengajian sampai waktu yang tak dapat ditentukan, karena berkembangnya penyakit kumeun ta’eun karu na. Namun niat membuka kembali masih tetap membara, jika Allah Swt mengizinkan setelah penyakit wabah itu hilang, yakni setelah Lebaran puasa 1441 H nanti.

Hari-hari bulan puasa terus bergulir tanpa henti. Setiap hari biasanya saya dua kali datang ke Bale Tambeh, yaitu antara Pukul 11.00 wib dan pukul 17.00 wib. Saya ke situ sekedar ‘peulale puasa’ sekaligus melakukan ‘diam di rumah aja!’

Langkah raseuki peuteumuen mawot!.  Demikian bunyi  hadih maja orang Aceh yang mengingatkan, bahwa sesuatu hal mengenai nasib kita telah ditentukan Allah Swt.

Begitulah, pada Kamis, 28 Ramadhan 1441 H bersamaan 21 Mei 2020, Bale Tambeh ditimpa musibah sekitar jam 10 pagi. Akibat tak sanggup menanggung beban yang amat berat, kayu penyangga lantai patah  dan aleue-lantai tempat duduk terbongkar. 

Musibah itu lebih disebabkan kayu yang sudah keropos dan dimakan kamue, anai-anai. Karena tak dapat dipakai lagi, maka sore Jum’at oleh Bang Is membongkarnya. Sejak pagi Jum’at, 29 Ramadhan, di bekas bangunan Bale Tambeh sudah rapi dan bersih dari puing-puing kayu bekas Bale Tambeh.

Maka tamatlah angan-angan kami anggota grup “drahaceh’ untuk mengangkat sastra dan budaya Aceh se-tinggi langit. Sebab kompornya sudah ‘meledak’!!!.

Munginkah  api semangat yang dulu membara itu bisa bangkit kembali!!!???. Wallahu ‘aklam!.

• Bekas Bale Tambeh, Sabtu, 30 Puwasa 1441 atau 30 Ramadhan 1441 H
bertepatan 23 Mei 2020 M, pukul 22.20 wib.

Penulis kisah: T.A. Sakti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendidikan

Pengertian Sejarah Sebagai Ilmu, Sebagai Kisah, Sebagai Peristiwa dan sebagai Seni

Pengertian Sejarah Sebagai Ilmu, Sebagai Kisah, Sebagai Peristiwa dan sebagai Seni 1. Sejarah Sebagai Ilmu Sejarah sebagai ilmu merupakan ...

Tampilkan