IFWADI, S.Pd

Foto saya
Bireuen, Aceh, Indonesia
KETUA MGMP IPS SMP BIREUEN

Selasa, 21 Juli 2020

Akibat Kurang Informasi dan Sedikit Publkasi

Akibat  Kurang  Informasi   dan  Sedikit  Publikasi:

“Apakah Ada Vespa di Aceh. . . ?”

Oleh:  T.A. Sakti
 
Kunjungan pertama Bapak dr. Tarmizi Taher selaku Menteri Agama R.I ke Aceh telah menggali aspirasi saya menyusun karangan ini. “Karakter ‘panas’ Aceh harus diarahkan”, demikian judul berita Harian Serambi Indonesia, dalam laporannya mengenai ceramah Menteri Agama di Aula IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Bnada Aceh.

Harus diakui, bahwa “karakter ‘panas’ Aceh” itu memang ada. Dalam hal ini, saya sangat setuju jika karakter panas ini ditarik ke arah positif. Bila mampu ke hal-hal positif, jelas akan merupakan sumber daya manusia (sdm) yang sangat potensial bagi mengejar kemajuan daerah Aceh khususnya dan Indonesia umumnya.

 Di samping sebagian “karakter Aceh” perlu disempurnakan, mesti pula ada usaha untuk menghapuskan pandangan keliru terhadap Tanah Aceh.

“Masyarakat Aceh, sejak semula bukanlah masyarakat yang cepat beringas, bengis, kejam dan aneh. Tapi, sejak dahulu kala masyarakat Aceh penuh sopan santun, agamis, beradat dan beradab, “(Harian Waspada, 8 Maret 1989 hlm. 3). 

Itu, petikan dari sambutan tertulis Wakil Gubemur Aceh T. Djohan yang dibacakan Pembantu Gubernur Aceh Wilayah I Drs. AR. Ishak pada pembukaan penataran pejabat/tenaga Humas se-Propinsi Aceh di Aula BKKBN Aceh di Banda Aceh, lebih empat tahun lalu.

Pernyataan Wakil Gubernur Aceh (yang masa itu dijabat oleh T Djohan) memang benar. Dan, perkara ini benar-benar dihayati masyarakat Aceh, sejak kapan pun dan dimana saja mereka berada. Bahwa, sebagai orang Aceh, mereka selalu membawa diri berperilaku sebagaimana manusia beradab  lainnya.

 Yaitu sopan, tidak suka ‘mengkhianati’ orang lain, dan pantang pula dikhianati dirinya. Cukup sudah, kurang apa lagi. Memang begitulah kelakuan insan beradab di mana saja di Bumi ini!.

Informasi penjajah
Tapi anda tak usah kaget, bila ternyata bahwa apa yang dihayati masyarakat Aceh tersebut belum populer (kurang diketahui) di luar daerah Aceh. Kenyataan ini, ‘diakui’ pula oleh Wakil Gubernur Aceh pada sambutan tersebut di atas, bahwa sampai sekarang masih banyak yang salah tafsir dan salah membaca tentang Aceh.

 Sampai kini ada yang menganggap masyarakat Aceh masih bengis, beringas, seperti ketika masyarakat Aceh melawan penjajah Belanda dulu. Sehingga kalau ada pejabat yang ditugaskan ke Aceh merasa takut dan ngeri dengan alasan yang tidak mendasar.

 Padahal, menurut T. Djohan, “kebengisan dan kekejaman masyarakat Aceh pada waktu itu hanya ditujukan kepada penjajah Belanda, Jepang dan siapa saja yang ingin menginjak-injak nilai, harkat dan martabat, maupun agama” (Hr. Waspada, 8 Maret 1989), ungkap beliau lebih lanjut.

Menurut pengamatan saya, ada dua sumber atau penyebab mengapa pandangan ‘negatif’ terhadap Aceh masih hidup subur di 1uar daerah Aceh!. 

Pertama, merupakan informasi negatif yang disebarkan penjajah Belanda, baik disengaja atau tidak, yang hingga kini belum terhapuskan.

 Kedua, hingga hari ini( sebelum tsunami  Aceh  tahun 2004 –TA)  sangat sedikit publikasi tentang Aceh yang tersebar ke luar Aceh, terkecuali mengenai Sejarah Perang Belanda di Aceh. Penyebaran sejarah perang itu, karena adanya mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah.

Dalam rangka membina publik opini (pendapat masyarakat), supaya menyokong tindak kekejaman pasukan Belanda selama puluhan tahun berperang melawan rakyat Aceh; pihak agressor ini pasti sengaja menciptakan pandangan-pandangan jelek terhadap orang Aceh. 

Biar pun sebagai bangsa agresor, pihak Belanda (waktu itu) tanpa malu-malu; selalu mengakui dirinya jadi pelopor bangsa beradab. Sementara, rakyat Aceh yang hendak dikalahkannya, terus-menerus digambarkan sebagai kumpulan manusia tidak beradab, gerombolan penyamun alias manusia liar/primitif.

Sesuai niat jahatnya itu, tindakan perang menaklukkan Aceh sengaja diisukan agar supaya orang Aceh bisa menjadi manusia sopan dan beradab nantinya setelah berada di bawah “asuhan” Belanda yang menang perang. 

Oleh karena   rakyat Aceh tak pernah menyerah atau tak terkalahkan “secara resmi”, maka Belanda terus-menerus “memberi cap atau stempel mati” kepada rakyat Aceh sebagai orang-orang tak beradab sepanjang abad. 

Surat-surat kabar dan majalah yang dimiliki Belanda, tentu saja sangat berperan dalam menyebarkan psy war (perang saraf) atau fitnah yang telah sangat merugikan masyarakat Aceh hingga masa kini.

Selain yang sengaja diprogramkan, pasti banyak pula isu menjelekkan Aceh yang tersebar lewat mulut-mulut usil atau tanpa disengaja. Para serdadu Belanda yang baru pulang atau cuti dari tugas bertempur melawan rakyat Aceh; tentu membawa pulang segudang informasi yang seram-seram ke kampung halamannya.

Usaha mencari popularitas diri sangat berperan dalam hal ini. Untuk memperoleh simpati-sekaligus agar dianggap pahlawan atau jagoan oleh para pendengar ‘kisah perang Aceh’, para mantan serdadu Belanda ini pasti beraksi habis-habisan.

 Pertempuran 15 menit, dibilang 8 jam. Gerilyawan Muslimin Aceh syahid 10-dikatakan yang tewas ribuan dan seterusnya!.

Ganas dan kejamnya pertempuran, juga dikisahkan berlebihan. Kisah-kisah yang mengejutkan hati ini, akhirnya tersebar luas dari mulut ke mulut. Sisa-sisa informasi penjajah Belanda itulah yang beredar sampai hari ini di luar daerah Aceh!!!.

Benarkah itu?. Mari kita tunggu jawaban para pakar berbagai disiplin ilmu!!!

Santapan harimau
Di suatu senja bulan Desember 1987, seorang teman dekat saya asal Boyolali, Jawa Tengah, datang ke tempat tinggal penulis di Asrama Mahasiswa Aceh “Merapi Dua” Yogyakarta.

 Sejak masih di halaman sudah saya perhatikan dia. la kelihatan bingung sekaligus linglung!. “Beban batin gerangan apakah yang tengah ditanggungnya?”, bisik saya dalam hati.

Setelah duduk di ruang tamu, sekalian berbasa-basi sekedarnya, teman saya yang bertitel insinyur mesin alumnus Universitas Gadjah Mada itu; barulah segera menjelaskan maksud kedatangannya.

“Bang, saya mau ke Aceh, kerja di Proyek Krueng Aceh Banda Aceh. Tapi, Bang, banyak teman yang melarang saya berangkat ke sana!. “Jangan-jangan kamu nanti jadi santapan harimau. Ingat, nggak kamu berita-berita koran Jakarta tentang keganasan harimau di Aceh sana?. Di Aceh kan banyak harimau!”, kata mereka”.

Saya terheran-heran mendengar keluhannya. “Betul-betul picik pengetahuan Bumi Indonesia kawanku yang insinyur mesin ini!”, keluh saya pula dalam hati sambil renyah tertawa. 

Dia mengira daerah Aceh luasnya hanya sebesar “lapangan bola kaki” yang sanggup dijangkau harimau sekali lompat; kiri kanan-muka belakang.

“Amit-amit jabang bayi!” (aduuuhhhh, minta ampun?), benar-benar wawasannya bagaikan katak di bawah tempurung. 

Kepadanya saya jelaskan, bahwa harimau di daerah Aceh memang ada. Tapi tempat ‘operasinya’ jauh di gunung hitam-rimba raya sana. Saya meyakinkan dia, bahwa di Proyek Krueng Aceh pasti tak ada harimau. Apalagi di Banda Aceh.

 Penulis menjelaskan, bahwa Banda Aceh adalah ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang luasnya lebih-kurang sebesar kota Yogyakarta juga. “Masak ada harimau dalam kota besar. Kecuali kalau ada Kebun Binatang seperti Gembira Loka di Yogyakarta, itupun di pinggiran kota.

 Perihal itu jangan pula kamu risaukan, sebab Kebun Binatang pun belum ada rencana pembangunannya di Banda Aceh, dengan segenap daya-upaya saya meyakinkannya.

Setelah mendengar penjelasan panjang-lebar tentang seluk-beluk daerah Aceh, dia agak merasa lega yang terpancar lewat raut wajah dan sinar matanya.

 Di sela-sela ngomong ngalur-ngidul (bicara utara-selatan) berbagai masalah lain, tiba-tiba dia majukan lagi satu pertanyaan yang tak kalah ‘bobotnya’ dari yang tadi. “Bagaimana bang, cara bergaul dengan orang Aceh?”. Ah, itu gampang!. Ingat nggak kamu pepatah lama: “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung!”. Ke seluruh dunia pun pepatah itu berlaku?”, jelas saya singkat.

Aceh kurang publikasi
Kasus seperti yang penulis alami, sering ditemui para perantau asal Aceh di luar daerah. Bahkan, banyak diantaranya yang membuat kita geli di saat mendengar kisahnya.

 Misalnya ada orang luar Aceh yang bertanya: “Apakah ada Vespa di Aceh?” Kesimpulan yang bisa disingkap dari pertanyaan itu, bahwa orang yang bersangkutan sama sekali belum mengetahui gerak pembangunan yang menggelora di Aceh selama zaman Pelita ini.

Nampaknya, masyarakat luar lebih banyak tahu tentang harimau buas, gajah mengamuk, dan berbagai pengrusakan serta hal-hal negatif lainnya. Mereka, sangat kurang mendengar berita tentang Gelora Pembangunan di Aceh di masa Orde Baru sekarang!. Mengapa hal ini terjadi?. Banyak dugaan yang pantas dikedepankan!.

Bila Anda “pernah berlangganan beberapa surat kabar terbitan Jakarta, tentu akan diketahui kecenderungan dari berbagai mass-media itu. Ada koran yang “Jakarta sentris”, “daerah-daerah sentris”, “milyuner”, dan seterusnya.

 Bagi surat kabar berprofil “daerah-daerah sentries” terpilah pula kepada koran yang hanya mementingkan daerah tertentu saja.

Apakah surat kabar yang bertindak demikian boleh kita salahkan? Atau dituduh tidak berlaku adil? Samasekali  tidak!. Sebab, media massa sekarang lebih banyak bersifat komersil-bisnis, ketimbang yang idealis.

 Akibat demikian, “kantong” mana yang paling banyak menguntungkan, tentulah kesitu lebih sering ditumpahkan ‘ujung pena’ dari media yang bersangkutan. Dalam hal ini, pihak luar tak perlu ribut?. Sebab setiap yang berbau “bisnis” hanya bertujuan mencari “keuntungan?”

Begitulah, akibat faktor-faktor tersebut di atas, maka daerah Aceh jarang dijadikan “bintang berita” dalam  sebagian koran-koran terbitan Jakarta. Malah biasanya hanya dijadikan “ampas berita” saja.

Maksud “bintang berita” adalah sering diprioritaskan sebagai berita utama di halaman depan/utama dan ditulis panjang lebar; malah sampai dikupas dalam “Tajuk Rencana”. 

 Sementara “ampas berita”  yaitu dimuat di halaman bagian dalam dan kadang-kadang pula di halaman depan; tetapi isi beritanya lebih sering dapat menjatuhkan citra daerah Aceh yang diberitakan itu.

 Praktek ini sering kita jumpai pada koran-koran tertentu yang terbit di Jakarta. Apakah hal demikian memang disengaja atau kebetulan; kita pun tak mungkin menjatuhkan “vonis”.

 Masalah sikap dari koran-koran terbitan Medan dan Jakarta ini ikut menjadi bahan diskusi dalam Seminar Nasional Pembangunan Aceh di Jakarta pada tahun 1988. Hampir semua koran membuat laporan masalah itu dengan berita berjudul” “Koran Terbitan Aceh, Entah Kapan?”

Koran-koran jenis yang memuat ampas berita inilah yang lebih sering menjatuhkan citra daerah Aceh lewat berita-beritanya. Para pembaca yang menyimak berita “jelek” dari Aceh, pada akhirnya jadi enggan bahkan takut datang ke Aceh, sebagaimana yang dialami kawan dekat saya tersebut di atas.

Betapa tidak, karena yang ia tahu mengenai Aceh hanya soal “kriminalitas” yang dibesar-besarkan koran, harimau ganas, gajah mengamuk dan sejenisnya.

Suratkabar yang bersimpati pada daerah Aceh, memang ada, tapi hanya beberapa koran saja yang berbuat demikian, cuma segelintir dari puluhan koran terbitan Jakarta.

 Padahal sikap simpati dari media massa terbitan Jakarta, merupakan kunci untuk menerobos ‘terisolasi’!.

Perkara lain, yang menyebabkan masyarakat luar “buta” terhadap situasi “Daerah Aceh Dewasa  Ini”, adalah akibat sedikitnya buku-buku mengenai “Aceh Modern” atau Aceh kontempoter yang beredar di bursa buku tingkat nasional.

 Mencari buku-buku tentang Aceh di toko-toko buku di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Solo, Bandung, dan Surabaya, termasuk usaha untung-untungan, bahkan sia-sia.

 Mungkin hanya buku sejarah Aceh yang dapat kita jumpai di sana. Namun, perlu direnungkan akibat dari bacaan sedemikian. Bukankah hanya sekedar mengetahui sejarah tanpa mengenal “Aceh Kontemporer” termasuk sesuatu yang timpang dan bisa menyesatkan”.

 Penulis yakin, sebagian informasi mengenai sejarah Aceh tempo dulu inilah yang telah melahirkan citra negatif, salah tafsir, dan pandangan keliru terhadap Aceh. Walaupun citra ‘jelek’ ini sudah agak kurang atau mulai normal/cerah dewasa ini, tetapi, yang jelas belumlah terhapuskan sama sekali.

Saran-saran
Pandangan keliru atau remang-remang dari masyarakat luar terhadap Aceh, mestilah dikikis sampai ke akar-akarnya; lebih-lebih informasi keliru yang berasal dari penjajah Belanda. Jalan menerobos menuju citra positif yang dapat penulis sarankan adalah sebagai berikut:

1. Dimohon kesediaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)  tingkat Pusat untuk  mengadakan sekali lagi “Seminar Pembangunan Aceh” di Jakarta.  Terutama guna membahas yang menyangkut “kebekuan informasi”   antara Aceh dengan luar daerah.

 Setelah lima tahun berlalu, patut diulang kaji kembali pelaksanaan dari kesimpulan atau hasil  Seminar Pembangunan Aceh I  tahun 1988 dulu. PWI Pusat patut mengadakan sayembara mengarang tentang Aceh, yang ditujukan untuk menghapuskan citra “Aceh angker” bagi masyarakat luar Aceh. 
Dalam kegiatan demikian, Pemda Aceh  dan pihak perusahaan industri di Aceh sudah selayaknya  diajak kerjasama.

2. Perkumpulan masyarakat Aceh, bahkan perseorangan yang berada di luar Aceh merupakan ujung tombak pertama yang ‘menginformasikan Aceh’ kepada masyarakat di perantauan mereka.

 Kalau dibekali dengan perencanaan matang,  perantau Aceh ini mampu berperan  menjadi juru bicara Aceh yang sukses di rantau.

3. Agar  dapat ditingkatkan informasi positif-Aceh lewat siaran  Stasiun TVRI Pusat – Jakarta. Siaran-siaran Stasiun TVRI Banda Aceh yang menarik supaya disiarkan ulang melalui Stasiun TVRI Pusat (Jakarta).

 Jangkauan dan jam siaran Stasiun TVRI Banda Aceh perlu ditingkatkan.

4. Menghimbau Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, agar menambah porsi mata pelajaran “Mengenal Indonesia” di sekolah-sekolah, sejak dari Sekolah Dasar (SD)  sampai  Perguruan Tinggi. 

Ini bertujuan,  supaya rakyat Indonesia ‘serba tahu’ tentang Tanah Airnya. Sebab, banyak warga negara ini termasuk para sarjana sekarang, teramat minim pengetahuannya mengenai kehidupan serta keberadaan bangsanya sendiri.

5. Supaya generasi muda Aceh diberi  sarana dan fasilitas yang memadai untuk pembinaan bakat tulis-menulis (mengarang) bagi mereka. Sekian!.

*Penulis  pernah kuliah  sampai Tingkat Sarjana Muda I Fakultas Pertanian Unsyiah dengan No. Induk 350/P, adalah alumnus Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta serta kuliah sampai tingkat Sarjana Muda Hukum di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (FHPM)  Unsyiah dengan No. Induk: 2422 dan kini bekerja di  Aceh.

( Sumber: Majalah “SANTUNAN” No. 200, Januari  1994  halaman  20 – 21, dan 52 – 53. Kanwil Depag. Aceh – Propinsi Daerah Istimewa Aceh ).

{ Catatan kemudian:  1)  Sejak tragedi tsunami, 26 Desember 2004 yang menggoncangkan DUNIA, informasi tentang Aceh sudah lebih banyak dan adil.

 Lebih-lebih setelah MetroTV mengabdikan diri menjadi “pawang” yang paling berjasa menginformasikan Aceh sejak peristiwa tsunami Aceh itu.

2). Kepada TVRI Pusat yang sudah berusia ‘setengah abad’ juga agar berperan   lebih layak lagi dalam menayangkan informasi-informasi positif tentang Aceh.

3. Sebagai pencinta TVRI, saya mengucapkan selamat Ulang Tahun ke – 50 kepada TVRI yang jatuh pada tanggal 24 Agustus 2012, semoga selalu jaya di udara!!!.

 Bale Tambeh, 7 Maret 2012, pkl. 7.34 wib., pagi, T.A. Sakti }.

*Tambeh paling mutakhir:
Sekarang, beberapa TV  Swasta-Jakarta, memiliki stasiun cabangnya di Banda Aceh. Berarti, kini berita mengenai  Aceh sudah beragam dan tidak ‘semini’  seperti  tempo hari. 

Alhamdulillah!!!.

Bekas Bale Tambeh, Lasa,  22 Beurapet  1441  atau 22 Zulqa’idah 1441 H 
 bersamaan  14 Juli  2020  M, pukul 06.06 wib.

( T.A. Sakti  )


IFWADI TAIB, Paya Kareueng, Bieuen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendidikan

Pengertian Sejarah Sebagai Ilmu, Sebagai Kisah, Sebagai Peristiwa dan sebagai Seni

Pengertian Sejarah Sebagai Ilmu, Sebagai Kisah, Sebagai Peristiwa dan sebagai Seni 1. Sejarah Sebagai Ilmu Sejarah sebagai ilmu merupakan ...

Tampilkan