IFWADI, S.Pd

Foto saya
Bireuen, Aceh, Indonesia
KETUA MGMP IPS SMP BIREUEN

Selasa, 28 Juli 2020

melacak kehidupan Snouck Hurgronje alias Abdoel Ghaffar

Dr.P.S. van Koningsveld
melacak kehidupan Snouck Hurgronje alias Abdoel Ghaffar


Dr Christiaan Snouck Hurgron¬je terdidik sebagai sarjana Islamologi, namun bagian terpenting riwayat hidup dan karyanya dalam masa itu lebih penting sebagai negarawan jajahan (colonial sta-tesman) yang mengabdi kepentingan politik Belanda pada zamannya.

Hal ini dikemukakan Dr P.S. van Koningsveld dalam wawancaranya kepada Kompas akhir pekan ini. la adalah "seorang sar¬jana ahli Arab (Arabist) lulusan Vrij Universiteit di Amsterdam, negeri Belanda, yang kini sedang menyiapkan suatu biografi lengkap Hurgronje.

Sebagai staf ahli pada Universitas Leiden, dia bertugas di bagian arsip dan dokumen Arab dan Islam. Di situ dia menemukan sejumlah besar dokumen sejarah yang berkaitan dengan Snouck, yang belum pernah digunakan sebagai sumber penulisan dan penelitian sejarah, bahkan ada yang baru belakangan ini saja diketahui adanya.

 Berdasarkan penelitiannya, van Koningsveld memastikan bahwa Snouck secara sadar beralih agama di Jeddah dan berperilaku lahiriah sebagai Muslim di Mekkah maupun Indonesia, untuk tujuan politik belaka.

Snouck Hurgronje lahir di Oosterhout pada 8 Februari 1857 dan meninggal di Leiden pada 26 Juni 1936. la belajar teologi Kristen pada Universitas Leiden. Pada tingkat kandidat, dia mempelajari bahasa Hibrani dan Semit, agar bisa membaca naskah Perjanjian Lama.

Salah satu bahasa utama Semit adalah bahasa Arab. Dan gurunya bahasa Arab adalah seorang Arabist terkemuka saat itu, Prof Dr De Goeje. Pada tahap inilah Snouck tumbuh dan berkembang perhatiannya kepada Islamologi, dan meninggalkan teo¬logi.

Pada 1880, Snouck mengakhiri pendidikannya dengan mempertahankan disertasi doktornya Het Mekkaansche Feest" yang membahas tentang ibadah haji. Di situ Snouck menganalisa kapan, mengapa dan bagaimana berhaji dijadikan ibadah Islam.

Dalam hubungan ini, van Ko¬ningsveld mengemukakan bahwa Snouck menilai Al-Qur’an bukan sebagai wahyu Tuhan, tetapi lebih sebagai "karya tertulis" Nabi Mu¬hammad SAW yang mengandung gagasan-gagasannya tentang agama.

"Menurut penilaian saya. disertasi Snouck itu merupakan karya ilmiahnya yang terbaik, karena di situ dia bersikap sebagai ilmuwan," ujar Koningsveld.

Van Koningsveld menambahkan keterangan tentang situasi budaya di negeri Belanda saat itu, yang amat berpengaruh terhadap sikap dan pandangan hidup Snouck kelak. Snouck berasal dari keluarga pendeta Protestan (domine) terkemuka yang konvensional dan semi ortodoks.

Tetapi lingkungan dia belajar (Leiden) adalah liberal untuk zaman itu. Dan pada periode itu, ilmu perbandingan agama perbandingan seja¬rah agama, amat dipengaruhi oleh teori evolusi dari Charles Darwin.

Pengaruh itu melahirkan suatu teori kebudayaan, bahwa budaya Eropa dan agama Kristen merupa¬kan titik puncak proses perkembangan kebudayaan. Karena itu, agama Islam dianggap sebagai suatu bentuk "degenerasi" kebu¬dayaan yang oleh kalangan Kris¬ten di situ dianggap sebagai hukuman Tuhan YME atas segala dosa kaum Nasrani.

Pendeknya, agama dan budaya Eropa lebih unggul dari pada agama dan budaya Timur (Oriental).

Teori atau konsep kebudayaan tersebut di atas amat mempengaruhi pandangan dan sikap Snouck selanjutnya, demikian van Koningsveld. . Pada tahun 1876, semasa Souck masih mahasiswa di Leiden pernah menyatakan "Kita harus membantu bangsa pribumi (maksudnya penduduk negara jajahan) untuk beremansipasi dari Islam".

 Sejak itu, memang Snouck tidak pernah beranjak jauh dari sikap demikian.

Dr Snouck kemudian mengajar pada "Leiden & Delf Akademie", tempat semua calon pejabat pemerintah kolonial Belanda dilatih sebelum berdinas di Hindia Belan¬da. Snouck sendiri belum pernah ke Hindia, namun di situlah dia mulai terlibat dengan urusan kolo¬nial Hindia Belanda di mana Perang Aceh sudah mulai berkobar.

Abdoel Ghaffar
Pada tahun 1880-an, di Belanda terjadi perdebatan tentang adanya banyak orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Isyu berhaji (pilgrimage) menjadi bahan perdebatan sengit di parlemen dan kalangan politik Belanda.

Ada pihak yang kontra dengan alasan politik ("para jemaah Indo¬nesia di Mekkah diindoktrinasi anti Belanda"), ekonomis ("ber¬haji menghamburkan banyak uang karena biayanya mahal, jadi mengancam ekonomi Hindia") dan kesehatan ("jemaah bisa ditulari penyakit yang akan meluas di Hindia kelak"). yang pro, menyatakan berhaji adalah ibadah agama, jadi harus dibiarkan,

Untuk memecahkan soal itu, Konsul Jenderal Belanda di Jeddah datang ke Den Haag, untuk berkonsultasi. "Dengan sendirinya Snouck yang telah membuat disertasi tentang berhaji dan mengajar di akademi, menjadi orang yang mempunyai peranan dalam usaha menyelesaikan isyu ini," ujar van Koningsveld.

Ketika itu, demikian Konings¬veld, Kementerian Luar Negeri Belanda menyatakan soal berhaji bukan urusannya dan menunjuk Kementerian Urusan Jajahan.
 
Menteri Urusan Jajahan, karena suatu sebab, enggan menugaskan Snouck secara resmi sebagai pembantu Konjen Belanda di Jeddah untuk meneliti segala aspek ber¬haji yang diperdebatkan. Apa lagi Snouck tidak bisa berbahasa Melayu untuk bergaul dengan para jemaah dari Hindia.
 
Tetapi akhirnya Snouck mendapat subsidi sebesar 2000 gulden yang amat besar untuk saat itu, melalui suatu subseksi Kementerian Urusan Jajahan, untuk melakukan missi mencari fakta ke Jeddah. "Jadi Snouck pada 1884 berangkat seba¬gai sarjana. Akademi, dengan tugas dan biaya dari Kementerian Urusan Jajahan," kata van Ko-ningsveld.

Ketika tinggal di Jeddah, Snouck berkenalan dengan dua orang Indonesia yang kemudian menjadi amat penting baginya

Yaitu Raden Aboe Bakar Djajadiningrat dan Haji Hasan Moestafa, kedua berasal dari Priangan. Snouck belajar bahasa Melayu dari Aboe Bakar, dan giat bergaul dengan para jamaah dari Hindia untuk mencari keterangan yang diperlukannya.

Semua kegiatan Snouck selama tinggal di Arab Saudi ini dicatat dalam buku harian  yang teliti sampai kini masih tersimpan di arsip perpustakaan Universitas Laiden.

Dari buku harian itu menurut van Koningsveld, banyak ulama di Jeddah menganjurkan Snouck untuk beralih agama menjadi Muslim. Apalagi  Snouck memang sudah banyak pengetahuannya tentang Islam. Dan ini memang  dilakukan oleh Snouck, setelah ia tinggal di rumah Aboe Bakar di Jeddah pada 4 Januari 1885.

Peralihan agama ini pasti, karena enam bulan sesudah itu ada sepucuk surat berbahasa Arab, dari seorang penduduk Mekkah yang ditunjukan kepada Snouck dengan nama Abdoel Ghaffar. Salah satu (isi)  surat itu, menurut penuturan van Koningsveld berbunyi:

 “…  Karena anda telah beralih agama di depan khalayak ramai,maka juga para ulama di Mekkah dengan ini mengukuhkan keabsahan peralihan agama anda ke Islam”.
“Tetapi walaupun Snouck telah melakukan upacara peralihan agama,tidaklah berarti dia itu muslim sejati,” kata van Koningsveld,  “Ini pernyataan saya, dan saya bisa membuktikannya berdasarkan dokumen yang ada !’’.

Kemudian Snouck alias Abdoel Ghaffar, tinggal selama enam bulan di Mekkah. Di situ dia diterima dengan kehormatan oleh ulama tertinggi di Mekkah, yaitu Wali Hejaz. Tahun 1885, Snouck kembali ke negerinya.
                                                                                                                                      Karya Aboe Bakar
         Tiga tahun setelah itu, Snouck menerbitkan dua jilid bukunya “Mekka”. Karya  ini menjadikannya tersohor  ke seluruh dunia, dalam sekejap mata. Jilid pertama tentang sejarah Mekkah, dalam mana dia mengutip sumber sejarah. Jilid kedua, jauh lebih penting dan amat berguna bagi politik kolonial pemerintah Belanda terhadap Hindia.

Jilid kedua berisi uraian tentang pelbagai segi kehidupan masyarakat dan keluarga di Mekkah. Terutama tentang peri kehidupan dan pandangan kaum “el Djawa” yaitu masyarakat Indonesia yang bermukim di Mekkah.

Bahkan Snouck menguraikan kehidupan seks dalam keluarga di situ dan pelbagai segi pribadi kehidupan masyarakat, seperti pendidikan agama, khitanan, upacara perkawinan,penguburan dan lain sebagainya. Banyak kelangan ilmuwan yang mengagumi Snouck yang telah menjalankan metode pengamatan dan penelitian  “modern” yaitu dengan motode partisipasi.

Tetapi van konongsveld berpendapat lain. “Jilid kedua itu terbukti didasarkan pada laporan tertulis berupa surat-surat dari Aboe Bakar di Jeddah kepada Snouck,” ujarnya.  ‘Korespondensi ini berjalan terus setelah Snouck pulang melalui Konjen Belanda.

Bahkan ada bagian-bagian dari buku Snouck itu, yang merupakan terjemahan kata demi kata dari surat Aboe Bakar !”. Memang Aboe Bakar ketika itu dijadikan asisten Konjen Belanda atas rekomendasi Snouck.

Bukan itu saja. Bahkan atas permintaa Snouck, Aboe Bakar membuat sebuah buku catatan  berisi biografi ulama Indoneisa yang berada di Mekkah ketika itu. Buku (cahier) ini berjudul “Risalah Tarjamah Ulama Djawa”, antara lain memuat biografi Al-Nawawi Banten.

Adanya risalah ini diketahui sekarang dan ditemukan oleh van Koningsveld. “Ini dan semua surat-surat tadi sepatutnya  diterbitkan atas nama Aboe Bakar Djajadiningrat karena Snocuk tidak menggunakan seluruhnya.”, katanya.

Selama di Jeddah dah Mekkah, Snouck memang berhasil mendapatkan informasi yang mempunyai nilai politis bagi Belanda. Terutama pandangan terhadap Belanda. Keterangan ini diperoleh dengan mudah, karena masyarakat Indonesia sudah menganggap Snouck alias Abdoel Ghafar sebagai “Akhu-fiddin” ( saudara seagama) mereka.

Ketika di situ pula Snouck membina perkenalan dan hubungan dengan orang-orang  Aceh.

 Tugas ke Aceh 
Awal pemahaman Snocuk tentang Aceh terjadi di Mekkah, terutama setelah ia berkenalan dengan seorang bernama  Habib Abdoerrahman Az-Zahir. Ulama ini adalah bekas penasehat utama Sultan Aceh ketika itu.

Tetapi integritasnya dan peranannya  diragukan, karena  dia juga  menjadi perantara  dalam hubungan antara Sultan Aceh  dengan fihak Belanda. Dia akhirnya dilepas oleh Sultan Aceh, tetapi pemerintah Belanda memberinya pensiun untuk hidup di  Mekkah.

Setelah  “Mekkah”  terbit, Snouck ditawari jabatan maha guru Melayu di Universitas Laiden. Tetapi ini ditolaknya karena merasa belum cukup pengetahuannya, sedang untuk bidang Islamologi masih tetap diduduki gurunya, de Goeje. Snouck memilih mengajar di akademi  dan sebuah pendidikan penginjilan Kristen untuk Hindia.

Namun Snouck lalu membuat langkah yang amat penting dalam hidupnya. Dia menawarkan untuk menuju ke Aceh, di mana Belanda sudah terlibat perang yang luas di situ Apalagi dia masih berkorespondensi dengan beberapa  ulama Aceh yang dikenalnya di Mekkah.

“Snouck mengusulkan, dia akan pergi ke Aceh diam-diam dengan tujuan melakukan penetrasi ke istana Sultan di Kumala, suatu tempat dimana sultan itu menyingkir dari serbuan Belanda,” tutur van Koningsveld,    “Snouck akan mengusahakan suatu persetujuan antara Belanda dan Sultan Aceh.”

Kementrian Urusan Jajahan  setuju,dan Snouck berangkat secara rahasia. Tetapi sesampai di Penang, dia dicegat Konsul Belanda dan diperintah melapor kepada Gebernur Jendral Hindia. Ternyata fihak militer Belanda di Aceh tidak setuju dengan rencana Snouck.

 Perang Aceh
Snouck mendarat di Batavia tahun 1889. Gebernur Jendral C. Pijnacker Hordijk segera menunjuk beberapa orang menjadi asisten Snouck.

Salah seorang pembantu yang pertama adalah Sayyid Osman ibn Jahja ibn Aqil al-Alawi. Dia ulama keturunan Arab Hadramaut,  dan pembantu penasehat pemerintah masalah Islam yang terdahulu
Mr. L.W.C van den Bergh. Selain itu, Snouck juga dibantu kenalan lama di Mekkah, Haji Hasan Moestafa, yang dijadikannya penasehat utama untuk wilayah Jawa Barat.

Melalui perbinCangan di Batavia dan korespondensi dengan  Den Haag, Snouck mendapat jabatan resmi dan tetap sebagai  “Officieel  Adviseur voor Oostersche Talenen Mohammedaans Rechts” (Penasehat Resmi Bahasa Timur dan Hukum Islam).

Bahkan sesudah pulang kembali ke Laiden 1906, dia tetap menjabat kedudukan itu dengan nama “Adviseur voor Inlandsche Zaken” yang berhubungan langsung dengan kabinet Belanda.

Tugas penting pertama Snouck adalah mendalami cara menyelesaikan atau lebih tepat menumpas Perang Aceh. Setelah peninjauan lapangan selama hanya delapan bulan saja, dan dibantu banyak keterangan tertulis jaringan pembantunya.

 Ulee Lheue  
Pada 1903, Snouck ditugaskan ke Aceh untuk menyelesaikan Perang Aceh bagi Belanda, karena politik pemerintah gagal total. Snouck berangkat ke Ulee Lheue yang menjadi kubu meliter Belanda.

Di situ dia mendapat bantuan berharga dari Tengku Nurdin yang juga abang kepala Penghulu Ulee Lheue bernama A’koeb. Kemudian Snouck membuat laporan tebal “Atjeh Verslag” yang menjadi dasar kebijakan politik dan militer Belanda menghadapi persoalan Aceh.

Bagian pertama laporan itu, berupa uraian antropologis Aceh, pengaruh Islam, peranan ulama dan uleebalang. Dalam bagian ini, Snouck mengemukakan bahwa Perang Aceh dikobarkan oleh para ulama, sedang para uleebalang bisa menjadi calon sekutu Belanda karena kepentingannya adalah berniaga.

“Islam harus dinilai  sebagai faktor yang sangat negatif, karena membangkitkan fanatisme anti-Belanda di kalangan rakyat. Setelah para pemuka agama ditumpas, maka Islam akan menjadi tipis (superficial) di Aceh, sehingga para uleebalang bisa dengan mudah menguasai situasi,” demikian pendapat Snouck menurut penuturan van Koningsveld.

Bagian kedua berisi saran tindakan dan strategi militer Snouck menyarankan operasi militer. Snouck menyarankan operasi militer kepedalaman menumpas habis gerilya dan kekuatan ulama, dan setelah itu baru bisa  ada peluang membina hubungan kerja sama dengan uleebalang.

Menurut van Koningsveld, tidak sepenuhnya analisa  Snouck benar. Karena dari daftar pemimpin Gerilya Aceh yang dibuat Snouck ketika itu, banyak terdapat nama uleebalang. Tetapi saran Snouck  sepenuhnya dijalankan pemerintah Batavia.
   
Jaringan dan kepercayaan       
Van Koningsveld menegaskan, bahwa Snouck selalu dikelilingi suatu jaringan pembantu atau pemberi keterangan yang terdiri dari orang Indonesia. “ Cara kerja Snouck di Hindia persis sama dengan ketika dia berada Arab Saudi: mengadakan kontak dan mendapatkan informasi lengkap tertulis.

Kontak terutama dengan ulama terkemuka, dan juga dengan tokoh priyayi.
Para ulama ini membantunya dengan sukarela dan dengan keyakinan Snouck itu Muslim. Kecuali beberapa, seperti Sayyid Osman yang memang digaji 100 gulden sebulan oleh pemerintah.

Van Koningsveld menemukan sejumlah surat dari banyak ulama di Jawa kepada Snouck yang disebutnya antara lain sebagai “al sheikh al-allama maulana abdoel ghaffar moefti ad-dhiyar al djawiya” yang artinya “tuan Abdoel Ghaffar sarjana amat terpelajar pemimpin agama tertinggi di Jawa.”

 Lebih istimewa lagi, Sheikh Maulana Abdoel Ghaffar itu pada bulan Januari 1890, menikah dengan puteri seorang penghulu Ciamis. Dari perwakinan ini lahir empat anak, dua perempuan dan dua lelaki. Yaitu Salmah Emah, Oemar, Aminah dan Ibrahim.

Dan dekat dengan akhir abad ke-19, Abdoel Ghaffar Snouck Hurgronje menikah lagi dengan Sitti Sadiyah – puteri ulama paling terkemuka di Bandung ketika itu yaitu Kalipah Apo! Pernikahan ini melahirkan seorang putra tunggal – R. Joesoef yang sampai sekarang masih hidup dikelilingi  anak cucunya.

Snouck dalam suatu korespondensi dengan Theodor Nuldeke, orientalist terkemuka Jerman yang juga gurunya di sebuah universitas Strassbourgh, mengaku terus terang bahwa perilakunya sebagai muslimin adalah untuk menembus masyarakat Islam dan mendapat keterangan.

 “…  saya melakukan idharu-Islam (artinya berperilaku lahiriyah sebagai Islam Red), karena hanya dengan begitu saya bisa  diterima di kalangan primitif, seperti di Indonesia,” begitu van Koningsveld mengutip surat Snouck kepada Nuldeke,” Dan dengan berbuat begitu, siapa pula yang dirugikan?  Barangkali hanya saya sendiri saja….” 

“’Tentu saja Snouck tidak menceritakan tentang perkawinannya di Ciamis dan Bandung, atau tentang Aboe Bakar Djajadiningrat dan banyak ulama lain yang mempercayai dirinya,” komentar van Koningsveld, “Snouck telah berdusta, bahwa tidak ada yang dirugikannya. Ini salah satu kecaman saya kepadanya.”

 van Koningsveld juga menemukan surat lain Snouck, yang menyatakan bahwa dia juga seorang agnostik  (selalu meragukan adanya Tuhan). Ini ternyata dari surat Snouck kepada teolog Protestan terkenal pada zamannya Herman Barvinck yang rekan sekuliah di Universitas Leiden.

 “… anda memang seorang yang yakin kepada Tuhan. Sedang  (saya)seorang yang skeptic terhadap segala hal…” tulis Snouck.

Negarawan Kolonial   
“Karyanya terpenting Snouck yang ada hubungannya dengan sejarah Indonesia adalah saran-sarannya kepada Pemerintah Belanda mengenai kebijakan tentang Islam di Hindia,” komentar van Koningsveld kepada Kompas, “jangan lupa, Snouck jadi adviseur sampai akhir hayatnya pada 1936, dan sarannya dijalankan pemerintah Belanda sampai tahun 1940-an.

Jadi setengah abad!”. Sebagai ilmuwan, Snouck jarang dikutip dalam perbincangan ilmiah sekarang. Sebagai insan politik ia lebih menonjol.

 “Snouck bagi Belanda adalah perwujudan pembenaran intelektual kehadiran Belanda di Hindia Belanda sebagai bagian dari sistem kolonial. Dan Snouck mempunyai kebijakan politik yang diyakininya baik bagi penduduk Hindia, karena bangsa ini dibantu meningkatkan diri ketaraf Eropa,” kata van Koningsveld.

 “Tugas kita adalah menunjukkan kepada bangsa Hindia, bagaimana Belanda yang negara kecil menjadi bangsa dan negara besar.  Itulah suatu tugas memperadabkan (mission civiiatrice) bangsa,” kata Snouck dalam pidato ilmiah menerima jabatan mahaguru Islamologi Universitas Leiden.

Van Koningsveld menyatakan sebagai ilmuwan Snouck meluntur.”Tetapi politikus, sebagai negarawan kolonial dia tetap serius. Paling dulu dia adalah orang Belanda, dan mengabdi kepentingan Belanda selamanya,”  demikian van Koningsveld menutup wawancaranya.  (rh/bd)

Sumber Harian KOMPAS, Minggu, 16 Januari 1983
Disalin kembali oleh: T.A. Sakti

Paya Kareueng, 28 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendidikan

Pengertian Sejarah Sebagai Ilmu, Sebagai Kisah, Sebagai Peristiwa dan sebagai Seni

Pengertian Sejarah Sebagai Ilmu, Sebagai Kisah, Sebagai Peristiwa dan sebagai Seni 1. Sejarah Sebagai Ilmu Sejarah sebagai ilmu merupakan ...

Tampilkan